Feeds:
Posts
Comments

Socratic Method is a dialectic method of inquiry, that uses cross-examination of someone’s claims and premises in order to reveal out a contradiction or internal inconsistency among them. Hegel’s dialectic, which he usually presented in a threefold manner, was vulgarized by Heinrich Moritz Chalybäus as comprising three dialectical stages of development: a thesis, giving rise to its reaction, an antithesis which contradicts or negates the thesis, and the tension between the two being resolved by means of a synthesis. Hegel rarely used these terms himself: this model is not Hegelian but Fichtean. The Socratic method is considered to be a negative method of hypotheses elimination, in that better hypotheses are found by identifying and eliminating those which lead to contradictions. The method of Socrates is a search for the underlying hypotheses, assumptions, or axioms, which may subconsciously shape one’s opinion, and to make them the subject of scrutiny, to determine their consistency with other beliefs. The basic form is a series of questions formulated as tests of logic and fact intended to help a person or group discover their beliefs about some topic, seeking to characterize the general characteristics shared by various particular instances. Aristotle attributed to Socrates the discovery of the method of definition and induction, which he regarded as the essence of the scientific method.
The three laws of dialectics are:
• The law of the unity and conflict of opposites;
• The law of the passage of quantitative changes into qualitative changes;
• The law of the negation of the negation
The Socratic questioning involves asking a series of questions surrounding a central issue, and answering questions of the others involved. The idea is expose the opponents contradictions in such a way that proves the inquirer’s own point. The term Socratic Questioning is also used to describe the kind of questioning, with which an original question was responded to as if it were an answer. This in turn forces the person who asked the question to reformulate it in the light of the new facts or evidence.
Socratic method is widely used in contemporary legal education by many law schools in the United States. In a typical class setting, the professor asks a question and calls on a student who may or may not have volunteered an answer. The professor either then continues to ask the student questions or moves on to another student. The teacher then typically plays Devil’s advocate, trying to force the student to defend his or her position by rebutting arguments against it. These subsequent questions can take a few forms. Sometimes they seek to challenge the assumptions upon which the student based the previous answer until it breaks. Further questions can also be designed to move a student toward greater specificity, either in understanding a rule of law or a particular case. The teacher may attempt to propose a hypothetical situation in which the student’s assertion would seem to demand an exception. Finally professors use the Socratic method to allow students to come to legal principles on their own through carefully worded questions that spur a particular train of thought.
One hallmark of Socratic questioning is that typically there is more than one “correct” answer, and more often, no clear answer at all. The primary goal of Socratic method in law schools is not to answer usually unanswerable questions, but to explore the contours of often difficult legal issues and to teach students the critical thinking skills they will need as lawyers. This is often done by altering the facts of a particular case to tease out how the result might be different. This method encourages students to go beyond memorizing the facts of a case and instead focus on application of legal rules to fungible fact patterns. As the assigned texts are typically case law, the Socratic method, if properly used, can display that judges’ decisions are usually conscientiously made but are based on certain premises, belief, and conclusions that are the subject of legitimate argument.

Berpikir Rasional diperlukan untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan yang kita hadapi sehari-hari. Pada kenyataannya kita memang sejak kecil berhadapan dan berinteraksi dengan hal-hal yang tidak rasional, namun demikian kita tetap hidup dapat hidup dengan keyakinan-keyakinan yang tidak rasional tersebut.

Dampak dari keyakinan dan perilaku yang tidak rasional tersebut adalah bahwa perilaku kita tidak efektif dalam mengerjakan dan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Kita terlalu jauh memikirkan permasalahan yang yang kadang-kadang tidak ada kaitan langsung dengan apa yang kita hadapi, sehingga membuat kita menjadi terlambat untuk menyelesaikan masalah dan akan membuat masalah baru.

Berpikir rasional adalah berpikir tentang masalah ‘sekarang’ yang kita hadapi yang perlu kita selesaikan dan menjadi prioritas karena masalahnya memang perlu dan penting untung diselesaikan. Berpikir rasional mengidentifikasikan permasalahan berdasarkan data-data dan fakta yang ada, bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak jelas yang mebuat kita menjadi tidak efektif bahkan bisa menjadi depresi.

Kecerdasan (intelligence) ditentukan oleh IQ (nature) dan interaksi seseorang dengan lingkungan dan dunianya (nurture). Seseorang akan berhasil dalam kehidupannya, apabila dapat meng-utilize kedua faktor diatas – nature & nurture.
Dalam era modern yang kemajuan teknologi dan ketersediaan infomrasi yang melimpah ruah, kecerdasan seseorang dikatagorikan dalam dua tingkat berpikir (Level of Thinking): Lower level of thinking (LLT) dan Higher level of thinking (HLT).
LLT mencakupi tingkat berpikir secara naluri (awerness) dan information (knowing bukan knowledge), kemudian HLT mencakupi tingkat berpikir Knowledge (know how), creative, dan arif (wisdom). Pada tingkat LLT, manusia berpikir secara naluriah, sesuai dengan apa yang telah dia bangun dan dia pelajari sejak kecil, dalam berinteraksi dengan orang disekitarnya dan dunianya, yang tumbuh menjadi sesuatu yang “dipercayai” atau “beliefs”, sehingga sifatnya absolut, kaku dan dianggap sebagai kebenaran. Seluruh informasi tentang dunia yang diterima melalui TV, radio, film, buku, internet, seminar, diskusi, persekutuan, mesjid, gereja, sekolah, arisan, dan sebaginya dicernakan berdasarkan sistim percaya dia. Pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, pengetahuan (berupa informasi yang diterima diatas), disaring dan disortir secara kritis untuk menjadi pengetahuan yang nantinya dapat diterapkan untuk kepentingan umum (manusia dan lingkungan) maka disebut know-how: contohnya ilmu ekonomi, kedokteran, kimia, energi, hukum, sosial, falsafah, psikologi, agama. Karena tingkat know how telah dilalui secara kritis, maka dia akan menjadi kreatif. Dalam katagori ini tingkat berpikir seseorang akan mampu menerapkan know-how-nya dalam hasil karya seperti: management, perbankan, telepon, TV, radio, kapal terbang, dan sebagainya. Dan akhirnya diperlukan kearifan atau wisdom untuk menginvent pemikiran kreatifnya agar tidak untuk disalahgunakan dan harus bermanfaat bagi kemanusiaan dan lingkungan. Contohnya seperti: HP, nuklir, pupuk organik, obat, mobil bus, pesawat komersil, bank syariah, rekayasa enginiring, dan sebagainya. Kemajuan teknologi dan apa yang kita sebut sebagai dunia modern adalah hasil dari tingkat berpikir kreatif. Sedangkan masyarakat dan negara-negara yang arif akan menggunakan kemajuan teknologi untuk kesejahteraan manusia dan lingkungannya, sehingga dapat dipergunakan oleh turun temurunnya, bukan untuk dihabiskan dan digarap habis-habisan pada saat ini.
Level of Thinking yang membedakan suatu masyarakat dengan masyrakat lainnya, satu negara dengan negara lainnya. Jadi, bila kita ingin membangun masyarakat atau negara, maka kita harus membangun mental-perilaku melalui tahapan-tahapan diatas. Bangsa Indonesia, sebagai kumpulan masyarakat dan sebuah negara masih dalam tingkat kecerdasan rendah, karena lebih menggunakan informasi dengan acuan sistim percaya individu yang bersifat naluriah. Contohnya, kebersihan, kesehatan, kepemimpinan, managemen, hukum, sosial, ekonomi, masih digunakan secara egois dan sesuai dengan naluri individu – untuk itu kita sebut tidak ada sistim sosial sama sekali. Terima kasih. Jesse Monintja

Sejak Sigmund Freud, baru belakangan ini semua orang membicarakan apa yang disebut subconscious atau unconscious. Semua dihubungkan dengan ‘perilaku’, sehingga begitu banyak pandangan yang dilepas kemasyarakat, khususnya melalui internet. Dalam pengamatan saya, kebanyakan orang yang tertarik lebih tertarik pada presentasi yang tidak ilmiah atau yang hanya pseudoscience (seolah-olah ilmiah tapi palsu). Subconscious sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan perilaku, tetapi pada pikiran (mind) – maka disebut unconscious mind, yaitu pikiran yang timbul secara tiba-tiba dan tanpa disadari, meskipun kita berada dalam keadaan jaga (tidak tidur). Subconscious mind adalah salah satu cara bekerja otak dalam melakukan tugas (task) tanpa harus melalui proses kognitif yang panjang. Jadi disini terdapat muatan ‘decision making’, pengambilan keputusan yang sudah dibangun oleh otak (disebut schema). Tujuannya agar manusia dapat bereaksi dengan cepat, khususnya dalam hal menyelamatkan diri dari ancaman bahaya. Contohnya, instink, naluri, refleks, atau yang disebut “fight or flight”. Dalam otak dibangun dalam bentuk memori jangka panjang yang non-deklaratif atau implicit, yaitu learning experience (pembelajran karena pengalaman indera) yang dibangun oleh otak menjadi: keterampilan, kebiasaan, terkondisikan atau otomatis, dan apa yang disebut priming (sugesti). Dalam fisiologi perilaku diuraikan sebagai memori yang membentuk jaringan sel syaraf yang bekerja dengan penguatan sel syaraf otak dan menyimpannya sebagai learning experience yang telah dikenali oleh panca indera dengan dan bereaksi atau berproses sesuai dengan stimulus yang diterima indera. Hampir 90% dari perilaku manusia dikendalikan oleh subconscious mind: mulai dari bangun pagi, mandi, bersiap kekantor, memilih pakaian, sarapan, mengendarai mobil, bekerja (masuk jam 9 pulang jam 5 sore), makan dengan keluarga dan kembali tidur. Suatu kegiatan yang kita sebut rutin, sehingga kadangkala sangat sulit bagi kita untuk mengingat susunan waktu dan kejadian bila diminta kita untuk mengingat. Semua kegiatan dan perilaku yang kita alami pada hari itu akan dikonsolidasi oleh otak saat kita tidur untuk dimasukan dalam folders, sesuai dengan schema yang telah dikonstruksi selama kehidupan kita. Dalam proses konsolidasi terjadi REM (rapid eye movement) dan menimbulkan mimpi, seolah-olah kita melihat atau mengalaminya. Subconscious tidak datang begitu saja, dari tidak ada lalu keluar dari otak menjadipikiran, emosi dan perilaku. Jadi, untuk membangun atau belajar perilaku yang lain (mengubah – change), maka kita harus membangun schema baru dan disimpan dadlam memori jangka panjang implicit, sehingga menjadi keterampilan, kebiasaan, terkondisikan, atau tersugesti (intrinsic motivation). Keseluruhan proses membangun kembali perilaku yang kita inginkan, memerlukan pengulangan (latihan) sehingga terbentuk penguatan sel syaraf dalam jaringan ssyaraf tertentu (neuronal pathways). Disini kita melihat bahwa mengubah perilaku tertentu tidak dapat dilakukan seketika; hanya dengan nasihat, emotional stimulus, reward dan punishment, shock therapy semata-mata. Perlu modifikasi kognitif dan latihan untuk mengulang terus menerus sehingga terampil atu menjadi mahir.

Bagi otak tidak ada informasi negatif atau positif. Otak menerima informasi (atau disebut stimulus indera) sebagai hal yang netral. Sebuah informasi akan menjadi negatif atau positif, karena inferensi yang kita bangun menjadi persepsi yang negatif atau positif. Kriterianya dibentuk berdasarkan apa yang kita ‘percayai’ disebut sebagai core belief (negatif atau positif), yang dibangun sejak kita masih anak-anak, dengan berinteraksi dengan orang sekitar kita, dan dunia kita. Itu yang kita yakini atau percya sebagai sesuatu yang benar, absolut dan kaku. Manusia sebagai mahluk sosial berusaha mencari sesuatu yang nyata – yang ditangkap oleh indera – dan diproses secara kognitif untuk diberikan arti sesuai dengan learning experiences kita (memories). Bila tidak sesuai (yang disebut unknown), maka working memory kita yang terletak di hippocampus akan mengirimnya ke amigdala untuk diberikan muatan emosi. Keberfungsian amigdala dikendalikan oleh working memory yang berada diprefrontal lobe yang berfungsi sebagai penilai dan pengambilan l keputusan atau fungsi eksekutif. Fungsi eksekutif ini sangat penting untuk menilai sesuatu yang belum diketahui atau belum dikenal oleh otak atas semua stimulus indera – unknown. Karena interaksi sosial, manusia memberikan arti akan sesuatu yang unknown sebagai sesuatu yang misteri, mengancam, menakutkan, harus dihindari – semua dibangun menjadi suatu yang diyakini dan diwarisi turun temurun. Jadi, terhadap unknown sebenarnya otak itu netral, manusia membangun nilai emosi sesuai dengan keyakinannya.

-Jesse Monintja-

INFO KEGIATAN

Salah satu fenomena atau gejala – gejala yang muncul dimasyarakat yang menjadi perhatian dari Center Of Human Behavior (CHB) adalah dengan semakin maraknya individu terutama remaja yang memiliki kecanduan (addiction) terhadap suatu kegiatan atau tindakan yang bisa memberikan kenikmatan bagi dirinya. Ternyata mengenai kecanduan ini tidak hanya melulu tentang drugs addict, alcoholic atau substances addict lainnya. Tetapi adiksi disini juga lebih bersifat umum dan lebih bersifat ke perilaku, seperti : games addict, internet addict, smoking addict, shopping addict (shopaholic), sex addict, sport addict bahkan ada yang namanya love addict. Tentu saja dengan kecanduan membuat para individu terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan adiksi tersebut sampai mengganggu sekolah, kuliah, pekerjan, lingkungan sekitar, hingga kewajiban lain yang diabaikannya.
Dengan melihat fenomena di masyarakat tersebut, maka Center Of Human Behavior (CHB) merasa perlu dan ikut bertanggungjawab untuk menyelamatkan bangsa ini sejak dini dengan mengantisipasi generasi penerus bangsa terutama remaja untuk tidak terjerumus lebih mendalam kepada jenis – jenis adiksi yang lebih berbahaya.
Oleh karenanya Center Of Human Behavior (CHB) melakukan langkah awal untuk melakukan edukasi seputar masalah adiksi dan akibatnya dengan mengadakan seminar sehari, yaitu :
 Tema : “ REMAJA DAN ADIKSI “
 Hari, Tanggal : Sabtu, 24 Oktober 2009
 Waktu : 09.00 – 13.00 WIB
 Tempat : Gedung Wanita
Jl. RE Martadinata No.84 Bandung
 Fee Contribution :
a. Peserta Individual : Rp. 150.000,-
b. Peserta Berpasangan : Rp. 200.000,- ( berlaku untuk suami isteri, ….,… )
 Fasilitas : Materi Kit, snack dan makan siang
 Sasaran Peserta Seminar :
Pelajar dan mahasiswa, para orangtua, guru, konselor, psikolog, dokter, LSM
 Pendaftaran Paling Lambat :
27 Oktober 2009
PENDAFTARAN & INFORMASI
Sekretariat Center Of Human Behavior
Jl. Banteng No.62 Bandung
Contact Person :
a.Deden Sofyan (022) 70097327
b. Elza Lusiana (08157163676)
Atau transfer uang pendaftaran ke
No. Rek Bank Mandiri a.n Elza Lusiana
132-00-0728203-2

Berpikir Panjang

Pikir panjang dulu, deh. Sering denger ungkapan ini kan?. Biasanya nasihat ini disampaikan pada seseorang yang tengah emosi. Kebayang kan kalo orang lagi emosi?. Reaksi fisiologisnya sangat kuat. Sulit diajak bicara. Apalagi bertindak dengan pikiran jernih. Pikirannya terokupasi pada problem yang tengah ia miliki. Maka, benar kata orang bijak; sebaiknya tidak mengambil keputusan saat emosi. Alih-alih penyesalan kemudian yang didapat.

“Pikir panjang” sebenarnya bukan cuma sekedar kiasan. Literally, arti berpikir panjang menggambarkan proses penerimaan informasi. Dimana ketika individu menerima informasi / stimuli yang kemudian direspon oleh sensory thalamus, disanalah terjadi penentuan takdir; dalam pengertian, setiap tindakan kita akan membawa konsekuensi lebih lanjut yang akan mempengaruhi kehidupan kit. Ada baiknya, bila tengah dilanda emosi, luangkan waktu sejenak untuk memikirkan akibat dari tindakan kita.Keputusan ini akan sangat ditentukan oleh kebiasaan kita dalam menghadapi persoalan. Individu yang terbiasa (terlatih) berpikir rasional akan cenderung menganalisis data / informasi terlebih dahulu, sebelum mengambil tindakan. Walaupun reaksinya jadi terlihat lebih lambat, cara bicaranyapun juga mungkin lambat. Tidak se-trengginas orang yang punya kecenderungan emosional (cepat bereaksi / reaktif).

Mari kita lihat pola di bawah ini. Orang yang (terbiasa) bersikap rasional akan mengolah informasi di prefrontal-cortex (merupakan pusat berpikir / kognitif / rasio) baru kemudian merespon. Kalopun ada reaksi emosi (di amygdala), maka emosinya tetap terkontrol.

Gambar:

TEP

Bandingkan dengan tindakan emosional saat mengolah info; individu cenderung mengambil jalan pintas. Begitu menerima informasi, langsung ke amygdala (pusat emosi), kemudian bereaksi emosional terhadap stimulus. Tanpa berdasar pertimbangan rasio. Tanpa pemprosesan di prefrontal-cortex. Insting didahulukan, logika menyusul kemudian. Mirip cara hewan dalam bereaksi. Tak heran bila amygdala ini dianalog-kan dengan ‘otak-hewan’ atau ‘otak-primitif’. Reaksinya hanya berdasarkan impuls semata. Mekanistis. Based on stimulus-respons. Deterministic. Tanpa proses berpikir kompleks, seperti: analitis, sintetis, abstraksi, judgement, inisiatif, kreatif, common-sense, menarik hipotesa, dan sebagainya.

Lalu apa yang membuat perbedaan dalam menyikapi masalah? karena tidak terlatih / tidak terkondisikan untuk menyikapi persoalan secara lebih rasional. Sifat manusia adalah meniru dari lingkungan terdekat. Bila kita terbiasa melihat orang sekitar bereaksi secara emosional, kecenderungan besar kitapun akan bersikap demikian. Diperlukan proses konsolidasi sebelum mengambil keputusan. Maka ada baiknya mulai saat ini kita berlatih mengendalikan diri. Mencoba mengoptimalisasi kerja prefrontal cortex. Caranya?

Kita lanjutkan di tulisan berikutnya, ya?

-dian-